Senin, 02 Juli 2012

KOPERASI SIMPAN PINJAM


Pengertian koperasi
Secara umum yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu badan usaha bersama yang bergerak dibidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak. Berkewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan para anggotanya.
Koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas azaz kekeluargaan (pasal 3 UU no. 12/1967). Dalam pengertian “organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial”, koperasi indonesia dalam mencapai tujuannya itu memperhatikan pula lingkungan masyarakat disekelilingnya. Dimana usaha koperasi tersebut mencapai keberhasilan, sedang keadaan lingkungan masyarakatnya masih menyedihkan secara musyawarah dan mufakat para anggotanya menyisihkan sebagian pendapatannya merupakan dana pembangunan masyarakat.
Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang dapat dikategorikan sebagai lembaga pembiayaan. Usaha yang dijalankan oleh koperasi simpan pinjam adalah usaha pembiayaan yaitu menghimpun dana dari para anggotanya yang kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada para anggotanya atau masyarakat umum. Hal ini tentunya sesuai pula dengan ciri-ciri dan definisi lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun atau menyalurkan dana atau keduanya.
B. Landasan-landasan koperasi
1.      Landasan idiil
(Pasal 2 ayat 1 UU no 12/1967), kelima sila yaitu ketuhanan yang maha esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan) dan keadilan sosial, harus dapat mewujudkan cita-cita bangsa indonesia dan perkoperasiannya, yang artinya yaitu: baik dalam ideologinya maupun dalam teknik pelaksanaan kerja dan perlakuan-perlakuannya.
2.      Landasan strukturil dan landasan gerak
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas-azas kekeluargaan. Dan penjelasannya berbunyi : “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan  anggota-anggota masyarakat.
3.      Landasan mental
Koperasi indonesia agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam mencapai tujuannya, harus dilapangkan dengan kuat oleh sifat mental oleh para anggotanya, yaitu setia kawan dan kesadaran pribadi. Setia kawan dan kesadaran pribadi harus selalu saling mengisi, dorong-mendorong, hidup-menghidupi awas-mengawasi.
 C. Fungsi koperasi indonesia
Dalam undang-undang no. 12 tahun 1967, bagian 2, pasal 4, tentang fungsi koperasi indonesia telah diperinci sebagai berikut :
a.       Koperasi indonesia sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional.
b.      Koperasi indonesia sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat.
c.       Koperasi indonesia berfungsi sebagai salah satu urat nadi perekonomian bangsa indonesia.
d.      Koperasi indonesia berfungsi sebagai alat pembina insan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa indonesia serta bersatu dalam mengatur tata perekonomian rakyat.
D. azaz dan sendi koperasi
Menurut pasal 5, bagian 3 UU no. 12 tahun 1967, maka azaz koperasi adalah kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Sedangkan sendi-sendi dasar koperasi indonesia yang telah ditentukan dalam pasal 6 bagian 4 UU no. 12 tahun 1967, adalah sebagai berikut :
a.       Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warga indonesia.
b.      Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi sebagai pencerminan demokrasi dalam koperasi.
c.       Pembagian sisa hasil usaha diatur menurut jasa masing-masing anggota.
d.      Adanya pembatasan bunga atas modal.
e.       Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya.
f.       Usaha ketatalaksanaannya bersifat terbuka.
g.      Swadaya, swakerta dan swasembada sebagai pencerminan daripada prinsip dasar percaya pada diri sendiri.
E. sumber-sumber dana koperasi
1.      Dari para anggota koperasi berupa
a.       Simpanan wajib
b.      Simpanan pokok
c.       Simpanan sukarela
2.      Dari luar koperasi
a.       Badan pemerintah
b.      Perbankan
c.       Lembaga swasta lainnya
G. keuntungan koperasi
1.      biaya bunga yang dibebankan ke peminjam
2.      bunga administrasi setiap kali transaksi
3.      hasil investasi diluar kegiatan koperasi
Pengertian Sisa Hasil Usaha
Dalam Manajemen koperasi Sisa hasil usaha (SHU) memang diartikan sebagai selisih dari seluruh pemasukan atau penerimaan total (total revenue [TR]) dengan biaya-biaya atau biaya total (total cost[TC]) dalam satu tahun buku. Bahkan dalam jika ditinjau pengertian SHU dari aspek legalistik, menurut UU No.25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah sebagai berikut:
1. SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
 2. SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
 3. besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
 Pengertian diatas harus dipahami bahwa SHU bukan deviden seperti PT tetapi keuntungan usaha yang dibagi sesuai dengan aktifitas ekonomi angoota koperasi, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap anggota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi.
 Penghitungan SHU bagian anggota dapat dilakukan apabila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut:
 1. SHU total kopersi pada satu tahun buku
 2. bagian (persentase) SHU anggota
 3. total simpanan seluruh anggota
 4. total seluruh transaksi usaha ( volume usaha atau omzet) yang bersumber dari anggota
 5. jumlah simpanan per anggota
 6. omzet atau volume usaha per anggota
 7. bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota
 8. bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota.
Prinsip Dasar:
 1. SHU diberikan atas partisipasi anggota terhadap kegiatan koperasi
 2. SHU dibagi secara proporsional atas partisipasi anggota tersebut.
Mekanisme Pembagian SHU:
 1.  SHU yang sudah diperoleh dibagi berdasarkan ketentuan yang ada di AD/ART
 2.  SHU untuk anggota dibagi berdasarkan besarnya transaksi, sehingga semakin besar transaksi seseorang anggota, dia akan semakin besar mendapatkan SHU, demikian sebaliknya.
 3.  Untuk memudahkan proporsi transaksi, maka diperlukan konversi nilai transaksi kedalam point pembagi SHU
 4.  Besarnya nilai tiap point SHU diperoleh dari Nilai total SHU yang dibagi untuk anggota, dibagi dengan total point yang dikeluarkan dari semua transaksi.
 5.  Nilai SHU tiap anggota adalah  jumlah point yang dimiliki seseorang anggota, dikali nilai tiap point SHU.
 6.  Konversi nilai transaksi dengan jumlah point sangat tergantung dengan proporsi margin (tingkat keuntungan dari transaksi tersebut). Semakin rigid (detail) semakin adil, namun akan rumit administrasinya, kecuali sudah computerized. Maka, Rapat Anggota dapat memutuskan diawal dengan klasifikasi nilai dan atau jenis transaksi barang/jasa pada beberapa klasifikasi saja.
Rapat Anggota
            Secara hokum anggota koperasi adalah pemilik dari koperasi dan usahanya, dan anggotalah yang mempunyai wewenang mengendalikan koperasi bukan pengurus dan bukan pula menejer. Rapat anggota mempunyai kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi. Rapat anggota itu adalah tempat dimana suara-suara anggota berkumpul dan hanya diadakan pada waktu-waktu tertentu. Pada dasarnya anggota perorangan yang bukan pengurus tidak boleh ikut campur tangan secara langsung dalam manajemen koperasi tetapi mereka dapat berpartisipasi dalam manajemen koperasi melalui berbagai cara dan kegiatan.
Pengurus
            Anggota koperasi perorangan pada dasarnya tidak boleh ikut dalam manajemen koperasi secara langsung. Partisipasi mereka dalam menejemen koperasi dapat disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus yang telah menerima pelimpahan wewenang dari anggota itu mewakili anggota-anggota dalam pengelolaan koperasi dan karenanya harus mampu menjabarkan kebijaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah diambil dalam rapat anggota secara lebih te rinci disertai dengan rencana/langkah-langkah operasionalnya dengan dibantu oleh manajer, menjadi tanggung jawab dari pengurus untuk mengamankan dan melindungi kepentingan anggota.
            Ketentuan tentang tanggung jawab pengurus terhadap kerugian  koperasi seperti yang tertera dalam pasal 34 UU tentang perkoperasian No. 25/1992 yang menyatakan bahwa :
1.      Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya.
2.      Disamping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Pengawas
            Dalam UU No. 25/1992 pasal 39 dikatakan :
1.      Pengawas bertugas
a.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi.
b.      Membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya.
2.      Pengawas berwenang
a.       Meneliti catatan yang ada pada koperasi.
b.      Mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.
c.       Dan seterusnya.
Manajer
            Pada koperasi yang kegiatannya telah meluas, tentunya tidak hanya memiliki seorang manajer saja, tergantung dari luas lingkup kegiatannya serta struktur organisasinya. Disamping itu tentunya diperlukan seorang manajer yang mengkoordinasi serta memberikan pengarahan-pengarahan kepada manajer tingkat bawah.
1.      Manajer Puncak
Dalam koperasi manajer puncak ini bertanggung jawab langsung kepada pengurus. Kelompok ini bertanggung jawab atas manajemen bidang usaha, yang menyeluruh dari koperasi yang bersangkutan.
2.      Manajer Menengah
Manajer menengah ini memberi pengarahan kegiatan-kegiatan manajer bawahan atau dalam hal-hal tertentu bisa juga kepada  karyawan-karyawan operasional. Jika pada manajer puncak itu mereka menetapkan kebijaksanaan operasional dan pemecahan masalah lingkungan organisasi maka middle management ini bertanggung jawab terhadap implementasi kebijaksanaan organisasi.
3.      Manajer Lini Pertama
Manajer Lini Pertama ini bertanggung jawab atas pekerjaan orang-orang lain (bawahannya) dan memberikan pengarahan kepada mereka.
DEPARTEMEN KOPERASI DAN APARAT BAWAHANNYA

UU KOPERASI NO. 12/1967 PP DAN LAIN” YANG MENGIKUTINYA
STRUKTUR ORGANISASI KOPERASI



ANGGARAN DASAR DLL

DEWAN PENASIHAT
RAPAT ANGGOTA
 








                                                                                                             
PENGURUS

BADAN PEMERIKSA
STAF PEGAWAI KOPERASI
USAHA KOPERASI
 


















HUKUM ISLAM DALAM PANDANGAN PARA ORIENTALIS

Hukum islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama islam.Ada beberapa istilah dalam hokum islam antara lain:
1.      Hukum
Jika kita berbicara tentang hokum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan- peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.Di samping itu ada konsepsi hokum lain, diantaranya adalah konsepsi hokum islam.
2.      Hukm dan Ahkam
Hokum berasal dari kata hukm dalam bahasa arab artinya norma atau kaidah yakni ukurtan, tolak ukur atau pedoman yang dipakai untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Dalam system hokum islam ada lima hukm atau kaidah yang digunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut , disebut juga lima kategori hokum dalam kepustakaan disebut hokum taklifi(Masyfuk Zuhdi , 1987: 5) yakni norma atau kaidah hokum islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang disebut ja’iz, mubah atau ibahah.
3.      Syariah atau syariat
Selain dari perkataan hokum, hukm, dan al-ahkam al khamsah atau hokum takhlifi diatas , perlu dipahami jugaistilah syariat adalah jalan kesumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Dilihat dari ilmu hokum, syariat merupakan norma hokum dasar yang ditetapkan Allah, yang wjib diikuti oleh orang islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesame manusia dan benda dalam masyarakat. Norma-norma hokum dasar yang terdapat di dalam Al- Quran itu masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh nabi Muhammad terutama mengenai muamalah, maka setelah nabi Muhammad wafat, Norma-norma hokum dasar yang masih bersifat itu perlu dirinci lebih lanjut ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkret agar dapat dilaksanakan dalam praktik, memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu. Jika orang berbicara tentang hokum syara’ yang dimaksud adalah hokum agama yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasulullah, yakni hokum syariat, kendatipun isinya kadang-kadang hokum fiqih.
4.      Fiqih
Fiqh yang ditulis fiqih/ fekih artinya paham atau pengertian. Ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hokum dasar yang terdapat di dalam Al Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.Dari uraian diatas jelas bahwa ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan hokum islam,yakni syariat islam dan fiqih islam.
Secara sederhana, syariat adalah semua ketetapan hokum yang ditentukan langsung oleh Allah yang terdapat di dalam Al Quran dan penjelasan Nabi dalam kitab-kitab hadis. Hukum fiqih adalah ketentuan-ketentuan hokum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hokum islam, sebagai hokum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan konkret, mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ketempat lain. Berlawanan dengan hokum fiqih yang semua bersifat zanni (dugaan) , hokum syariat ada yang bersifat pasti, selain itu hokum fiqih tidak dapat menghapuskan sama sekali hokum syariat.
Hukum islam, baik dalam p engertian syariat maupun dalam pengertian fiqih tersebut, seperti telah di sebutkan di muka, dapat dibagi dua yait : mengnai ibadah, mengenai mamalah. Ibadah yakni cara dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, tidak mungkin ada apa yang disebut modernisasi mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan dan perombakan scara asasi mengenai hukum, susunan, cara, tata cara ibadah itu sendiri. Muamalah dalam pengertian yang luas, yakni ketetapan yang di berikan oleh Tuhan yang langsung berhubungan dengan kehiduoan social manusia, terbatas pada yang pokok-pokok saja.

Ruang Lingkup Hukum Islam

Hukum islam tidak membedakan antara hukum perdata dengan hukum public.
Menurut system hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-segi public dan pada hukum public ada segi-segi perdatanya. Jika hukum islam disusun menurut sistematis hukum barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum public, susunan hukum muamalah dalam arti luas itu sebagai berikut :

Hukum perdata (islam) diantaranya adalah :
1.Munakahat
2.Wirasah
3.      Muamalat
Hukum public (Islam) diantaranya adalah :
1.                      Jinayat
2.                      Ah- ahkam as-sultaniyah
3.                      Siyar
4.                      Mukhasamat
Ciri-ciri Hukum Islam
1.      Merupakan bagian dan bersumber dari agama islam.
2.      Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan lagi dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlaq islam.
3.      Mempunyai dua istilah kunci syariat dan fiqih.
4.      Terdiri dari dua bidang utama ibadah dan muamalah.
5.      Struktur berlapis terdiri atas nas atau teks Al-Quran, Sunnah Nabi, Ijtihad, Pelaksanaannya dalam praktik.
6.      Mendahuukan kewajiban dari hak, amal dari perbuatan.
7.      Dapat dibagi menjadi hukum takhfi dan hukum wadh’i
8.      Berwatak universal.
9.      Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.
10.  Pelaksanaannya dilaksanakan oleh iman dan akhlak umat manusia.
Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
      Hukum Islam, sebagai bagian agama islam, melindingi hak asasi manusia. Terdapat perbedaan pokok antara Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang diseponsori barat dangan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh umat islam. Hak- hak yang dirumuskan dalam deklarasi itu, kebanyakan hak ekonomi. Hak politik seperti hak untuk mengutarakan pendapat secara bebas, tidak boleh bertentangan dengan asas-asas syariah. Semua individu sama dimata hukum. Wantita dan pria sama dalam martabat kemanusiaan. Hak atas hidup dijamin. Pekerjaan adalah hak individu yang dijamin oleh Negara. Demikian juga hak atas pelayanan kesehatan, social, dan kehidupan yang layak. Ditegaskan pula bahwa tidak ada sanksi, kecuali sanksi yang ditentukan dalam syariat atau hukum islam.

Tujuan Hukum Islam
      Tujuan hukum islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan social.Tujuan hukum islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni:
1.      Pembuat hukum islam (Allah dan Rasul-Nya) Untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyat, hajjiyat dan tahsiniyyat.
2.      Manusia menjadi pelaku dan pelaksana hukum islam Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera .
       Kepentingan hidup manusia yang bersifat primeryang di sebut dengan istilah daruriyyat tersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus di pelihara oleh hukum islam.
Di singgung diatas,adalah lima,yaitu pemeliharaan;
1. Agama
2. Jiwa
3. Akal
4. Keturunan dan
5. Harta

Salah Paham Terhadap Islam Dan Hukum Islam
      Islam sebagai agama dan sebagai hukum, sering di salah pahami bukan hanya oleh orang-orang non-Muslim, tetapi juga oleh orang-orang islam sendiri. Kesalahpahaman terhadap islam di sebabkan karna banyak hal, namun, yang releven dengan kajian ini adalah karena:
1. Salah memahami ruang-lingkup ajaran islam,
2. Salah menggambarkan kerangka dasar ajaran islam,dan
3. Salah mempergunakan metode mempelajari islam.
      Para orientalis yang mempelajari islam, sering kali pula melakukun pendekatan menyamakan agama islam dengan keadaan umat islam di suatu tempat pada suatu masa. Keadaan umat islam yang miskin, terbelakang di suatu tempat pada kurung waktu sekarang ini mereka pergunakan sebagai data untuk menarik kesimpulan bahwa agama islam menganjurkan atau membiarkan kemiskinan dan keterbelakangan. Atau mereka menganggap kemiskinan dan keterbelakangan itu terjadi di kalangan umat islam Karena agama islam tidak mendorong para pemeluknya untuk maju dan berkembang.
      Metode atau pendekatan yang di lakukan oleh para orientalis ini tidak sesuai dengan agama islam.Pada umumnya metode yang di pergunakan oleh penulis-penulis Barat itu di pengaruhi oleh dua aliran pikiran,yakni:
1. Aliran liberal Kapitalis
2. Aliran Marxis.
3. Aliran yang memasukkan ke dalam metode yang di pergunakannya pengertian-pengertian yang berasal dari agama (Kristen dan Yahudi) yang di anutnya.
      Demikianlah beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam mengkaji dan memahami
(ajaran) islam. Ini berari bahwa hukum islam:
1. Harus di pelajari dalam kerangka dasar ajaran islam,
2. Harus di hubungkan dengan iman (akidah) dan kesusilaan (akhlak,etika,atau moral), karena dalam system hukum islam,iman,hukum dan kesusilaan tidak dapat di ceraipisahkan.Karena itu,
3. Tidak dapat di kaji dan di pahami dengan mempergunakan ilmu hukum Barat (Baik continental maupun Anglosakson )yang sifatnya sekuler .
4. Harus di kaitkan dengan beberapa istilah kunci,di antaranya adalah syariah dan fiqih yang dapat di bedakan tetapi tidak mungkin di ceraipisahkan.
5. Mengatur seluruh tata hubungan manusia ,baik dengan Tuhan,dengan diri sendiri dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
6. Di kaji dan di pelajari dengan mempergunakan metodologi hukum islam sendiri yang di sebut usul fiqih. 

Titipan (wadiah)

 WADI’AH
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzahu), berarti bahwa al-wadi’ah ialah memberikan. Makna yang kedua al-wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata, “awda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika Al-Mal Liyakuna Wadi’ah “Indi). Secara bahasa al-wadi’ah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk di jaganya dan pada penerimaanya (I’tha’u al-Mal Liyahfadzahu wa fi Qabulihi).
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :
1.      Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
2.      Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

Ø  Menurut HASBI-ASHIDIQIE al-wadi’ah ialah :
“akad yang inrinya minta pertolongan pada seseorang dalam memelihara harta penitip.”
Ø  Menurut SYAIKH SYIHAB al-DIN al-QALYUBI wa SYAIKH Umairah al-wadi’ah ialah :
“benda yang diletakan pda orang lain untuk dipeliharanya
Ø  Menurut IBRAHIM al-BAJURI berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah ialah
“akad yang dilakukan untuk penjagaan”
Ø  Menurut ADDRIS AHMAD bahwa titipan adalah barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Ø  Tokoh – tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.
Dalam bidang ekonomi syariah, wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan tersebut.
Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:
  1. Wadiah Yad Dhamanah
Wadi’ah ini adalah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
  1. Wadiah Yad Amanah
Wadi’ah ini adalah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut.
A.    DASAR HUKUM
            Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58 :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,…..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :

 “…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu : Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.”(H.R.THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan.  Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”   
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini.
B.     SYARAT WADI”AH
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
  1. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
  2. Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
  3. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
  4. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
C.    RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
  1. Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
  2. Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
  3. Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
  4. Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri.  Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda benda titipan tidak rusak tanpa adanya unsure kesengajaan darinya, maka ucapanya harus di sertai dengan sumpah supaya perkataanya itu kuat kedudukanya menurut hokum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat di terima ucapanya secara hokum tanpa di butuhkan adanya sumpah.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi.  Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah  menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`.  Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harus bertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi.  Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian.  Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang. 
 Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)  Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)

kompetensi PA


Kompetensi Peradilan Agama
            Kekuasaan atau kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan agama diatur secara khusus dalam UU no 7 tahun 1989. UU no 3 tahun 2006, kekuasaan peradilan agama dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Kekuasaan absolut ( kompetensi absolute )
  2. Kekuasaan relative ( kompetensi relative )
  1. Kekuasaan Absolute Pengadilan Agama
Kekuasaan absolut peradilan agama adalah kekuasaan atau kewenangan mengadili dari badan peradilan yang berupa Peradilan Agama atas perkara perdata tertentu secara absolut hanya pengadilan dilingkungan peradilan agama yang berwenang mengadili dan tidak dapat diadili oleh badan peradilan lain.
            Kekuasaan absolute pengadilan dalam lingkungan peradilan agama secara tegas semula ditentukan dalam pasal 49 & 50 UU no 7 tahun 1989 diubah  bunyinya dengan UU no 3 tahun 2006.
    1. Pihak-Pihak yang berperkara
a.       Perkara antara orang – orangyang beragama islam
b.      Orang atau badan hokum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hokum islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Perkara antara orang –orang yang beragama islam.
   Dalam praktek pengadilan agama dalam menyikapi serta menentukan criteria bahwa yang sedang berperkara itu adalah orang-orang beragama islam sehingga perkaranya merupakan wewenang absolute Peradilan Agama dilihat secara kasuistik sebagai berikut :
a.       Apabila dalam gugatan, identitas pihak-pihak (penggugat & tergugat adalah islam, kemudian dalam pemeriksaan perkara berlangsung tidak ada mempersoalkan agama masing-masing, sehingga PA berwenang mengadili dan meneruskan perkara tersebut.
b.      Apabila dalam gugatan , Penggugat/ tergugat salah satunya tidsak beragama islam serta keberatasn perkara tersebut diadili oleh PA, maka hakim memerintahkan membuktikan bantahannya tersebut.
c.       Pihak-pihak yang berperkara didepan PA beragama islam pada saat perkara sedang berlangsung diperiksa oleh PA.
Pihaknya “ Orang/ Badan Hukum
    “Orang /Badan Hukum “ dimasukkan sebagai pihak dalam perkara karena terkait atas suatu benda sebagai suatu obyek perkaranya. Namun diisyaratkan bahwa orang /badan hokum tersebut denbga sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hokum islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan PA.
Pihak-pihak Dalam Perkara  dibidang Perkawinan
a.       Perkara suami istri dibidang perkawinan , jika akta perkawinan mereka dulunya dicatat di PPN pd KUA, maka pengadilan agama yang berkuasa mengadili. Sedangkan kalau dulunya dicatat pada kantor Catatan Sipil maka yang berwenang mengadili  adalah PN.
b.      Suami belum berusia 19 tahun dan istri belum berusia 16 tahun untuk perkawinan diperlukan dispensasi dari pengadilan, jika suami istri beragama islam keduanya dapat mengajukan dispensasi kepengadilan agama. Dan sebaliknya jika non islam  mengajukan ke PN.
c.       Anak yang belum baliq yang menggugat nafkah terhadap orangtuanya
1.      Jika anak tidak tergesa-gesa memilih agamanya maka yang berkuasa peradilan yang mencatat perkawinan orangtua.
2.      Jika anak tersebut tergesa-gesa memilih agamanya  maka diajukan ke PA (jika menyatakan islam) ke PN (jika menyatakan non islam).
Pihak-Pihak Dalam Perkara Waris
1.      Pewaris beragama islam atau beragama non islam, sedangkan semua ahli warisnya beragama islam, maka pengadilan agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
2.      Pewaris beragama islam sedangkan ahli warisnya ada yang beragama non islam. Agar PA berwenang mengadili perkara waris tersebut, ahli waris non islam dapat berposisi sebagai pengugat atau tergugat disyaratkan mau menundukkan diri secara suka rela terhadap hukum islam yang berlaku di PA.
3.      Perkara waris yang diperiksa di PA diajukan ke PN oleh tergugat yang beragama non islam. Yang berwenang memeriksa dan mengadili dan memutus perkara sengketa kewenangan mengadili tersebut adalah MA. Diputuskan berdasarkan atas agama pewaris.
Pihak-Pihak Dalam Perkara di Bidang Wasiat
1.      Pemberi wasiat beragama islam, penerima wasiat beragama islam, ahli waris beragama islam. Maka penerima wasiat walaupun ahli waris dapat mengajukan gugatan ke PA.
2.      Pemberi wasiat beragama islam, penerima wasiat beragama non islam, ahli waris beragama islam, maka ahli waris dapat mengajukan gugatan ke PA. sedangkan penerima wasiat yang beragama non islam dapat juga mengajukan gugatan ke PA asal dia menundukkan diri secara suka rela  kepada hukum islam yang berlaku di PA.
Pihak-Pihak Dalam Perkara di Bidang Hibah
1.      Pemberi hibah beragama islam, penerima hibah beragama islam maka penerima hibah atau ahli waris dapat mengajukan gugatan ke PA.
2.      Pemberi hibah beragama islam, penerima hibah non islam, ahli waris beragama islam maka ahli waris dapat mengajukan gugatan ke PA sedangkan penerima hibah dapat juga mengajukan gugatan ke PA asal dia menundukkan diri secara suka rela kepada hukum islam yang berlaku di PA.
Pihak-Pihak Perkara di Bidang Wakaf
     Agar PA berwenang mengadili perkara wakaf, disyaratkan perwakafannya diatur menurut hukum wakaf,pihak penerima wakaf  berupa orang disyaratkan beragama islam, bila badan hukum maka bergerak di bidang keagamaan islam.
                  Pihak-Pihak Perkara di Bidang Shodaqoh, Zakat dan Infak
                       Subyek dalam perkara di bidang Shodaqoh, zakat dan infak. Perbuatan   
                  Hukum shodaqoh, infak zakat, merupakan kewajiban seseorang yang bersifat
                  Pribadi bukan badan hukum. Maka subyek pada perkara disini orang
                  Beragama islam. Perkara di bidang ini pada umumnya hanya bersifat
                  Permohonan- permohonan. Misal permohonan ditetapkan berupa kewajiban
                  Membayar zakatnya.
                  Pihak-Pihak perkara di Bidang Ekonomi Syari’ah
                         Bidang obyek pekerjaan dari lembaga keuangan tersebut yaitu dibidang
                  Ekonomi syari’ah tersebut diatas. Maka agar perkara yang berkaitan dengan
                  dengan lembaga keuangan menjadi wewenang PA ditentukan bidang obyek 
                  pekerjaannya tersebut, bukan ditentukan subyeknya.
II. Bidang Perkara yang menjadi Wewenang PA
a.       Perkara dibi Perkara dibidang Perkawinan
1.Ijin beristri lebih dari satu
2. Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 th, dlm hal orangtua/ wali  ada perbedaan pendapat.
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh PPN
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri
8. Gugatan perceraian
9. Perceraian karena talak
10. Penyelesaian harta bersama
11. Penguasaan anak
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilimana bapak tidak memenuhinya
13. Penentuan kewajiban member biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan kewajiban bagi bekas istri
14. Putusan sah atau tidanya seorang anak
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orangtua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur yang ditinggal mati orangtuanya
19. Pemberian kewajiban ganti kerugian atas harta benda anakyang ada dibawah kekuasaannya
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hokum islam
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur  
b.       Perkara dibidang Waris
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
c.       Perkara dibidang Wasiat
Perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hokum yang berlaku setelah member tersebut meninggal dunia.
d.      Perkara dibidang Hibah
Perkara dibidang Hibah Pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hokum kepada orang lain atau badan hokum untuk dimiliki.
e.        Perkara dibidang Wakaf
Perbuatan seseorang atau sekelompok orang untuk memisahkan /menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya / untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah/ kesejahteraan umum menurut syariah.
f.        Perkara dibidang Zakat
Harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hokum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 
g.      Perkara dibidang Infaq
Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan. Minuman, mendemakan, memberikan riski, atau mernafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dank arena Allah SWT.
h.      Perkara dibidang Shadaqah
Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badanhukum secara sepontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.
i.        Perkara dibidang Ekonomi Syariah
Perbuatan ataukegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain: Bank syariah, Lembaga keuangan syariah, Asuransi syariah, Re asuransi syariah,  Reksa dana syariah, Obligasi syariah dan surat-surat berharga berjangka syariah, Sekuritas syariah, Pembiayaan syariah, Pegadaian syariah, Dana pension lembaga keuangan syariah.
  1. Obyek sengketa berupa benda dibidang perkara yang dimaksud pasal 49 dan50 UU no 3 Tahun 2006
    1. Obyek sengketa berupa Benda
Menurut pasal 50 UU no 3 th 2006
a.       Dalam hal terjadi sengketa hak milik/ keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
b.      Apabila terjadi sengketa hak milik/ keperdataan lain sebagaimana dimaksud pada ayat I yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh PA bersama-sama sebagaimana perkara yang dimaksud dalam pasal 49
Yang dimaksud pasal 49 UU no 3 th 2006:
a.       Obyek sengketa berupa benda, benda tersebut tidak terdapat sengketa hak milik / keperdataan lain
b.      Obyak sengketanya berupa benda, benda tersebut terdapat sengketa hak milik/keperdataan lain
    1. Obyek sengketa berupa benda  tidak terdapat sengketa hak milik/keperdataan lain.
Apabila perkara yang diajukan ke PA dibidang perkara yang dimasksud dalam pasal 49 obyeknya berupa benda sedangkan benda tersebut tidak terdapat sengketa hak milik/ keperdataan lain, demikian juga subyeknya yang boleh berperkara di PA maka PA berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
  1. Obyek sengketanya berupa benda terdapat sengketa hak milik atau keperdataan lain.
“Sengketa hak milik” adalah sengketa mengenai siapa pemilik atas suatu benda tersebut belum jelas, sehingga memerlukan suatu keputusan pengadilan lebih dahulu agar dapat diketahui kejelasan menurut hokum tentang siapa pemilik atas benda tersebut. “Sengketa keperdataan lain “adalah benda yang menjadi obyek sengketa masih menjadi sengketa selain sengketa hak milik missal menjadi jaminan hutang, sewa-menyewa dll.
    1. Obyek sengketa berupa benda menjadi sengketa hak milki atau keperdataan lain (yang mengajukan sengketa bukan bukan subyek bersengketa di PA).
Dalam hal ini tentu subyeknya orang adalah orang yang beragama islam dan badan hokum , sedangkan orang non islam dan badan hokum tersebut tidak tunduk pada hokum yamng berlaku  diPA maka mereka bukan subyek/pihak yang dapat berperkara di PA.
  1. Kekuasaan Relatif Pengadilan Agama
Kekuasaan relative PA adalah kekuasaan mengadili oleh PA tertentu atas suatu perkara tertentu yang tidak dapat diadili oleh PA lain, semata-mata dibatasi oleh wilayah hokum PA itu.
Semua PA secara absolute berwnang mengadili suatu perkara yang ditentukan dalam pasal 49 UU no 3 th 2006. Menurut hokum perkara tersebut secara relative hanya dapat diadili oleh PA tertentu sesuai wilayah hukumnya yang ditentukan oleh UU. Karena itu tidak dapat diadili oleh PA yang tidak termasuk dalam wilayah hukumnya.
Didalam UU no 7 th 1989 kekuasaan relative ada beberapa perbedaan dalam peraturannya, dalam perkara bidang perkawinan yaitu cerai talak dan cerai gugat diajukan ke PA adalah diatur secara khusus dalam pasal 66& 73 UU no 7th 1989 sedangkan untuk perkara waris, hibah, wakaf, wasiat, shadaqah, zakat, infaq,dan ekonomi syariah, gugatan/ permohonan diajukan ke PA sesuai ketentuan dalam hokum acara perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan umum yaitu yang diatur dalam pasal 118 HIR/142 Rbg.