FATWA-FATWA LEASING
Yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan adalah
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam kegiatan pembiayaan disamping
perbankan dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat ( Pasal 1 ayat 2 Keppres61/1988).
Leasing berasal dari bahasa inggris, yaitu lease yang
dari pengertian umum mengandung arti menyewakan. Menurut Keputusan Menteri
Keuangan No 1169/kmk.01/1991,”sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk digunakan oleh lesse selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”.
Menurut peraturan menteri keuangan Nomor.
84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan yang dimaksud, sewa guna usaha
atau Leasing adalah kegiatan pembayaan dalam bentuk penyediaan barang modal
baik secara guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna usaha tanpa opsi untuk
digunakan oleh penyewa guna usaha sampai jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran (pasal 1 Huruf C)
Kehadiran Leasing di Indonesia secara formal
diperkenalkan pada tahun 1974 yakni dengan dikeluarkannya surat keputusan
bersama menteri keuangan, menteri perindustrian, menteri perdagangan republik
Indonesia Nomor KEP 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/1974 dan Nomor
30/KPB/1/1974 tentang perizinan usaha Leasing. Pasal 1 surat keputusan bersama
tersebut memberikann pengertian tentang Leasing sebagai berikut: setiap kegiatan pembiayaan perusahaan ndalam
bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan
untuk suatu jangka tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala
disertai hak pilih bagi perusahaan tersebut untk membeli barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu Leasing berdasarkan nilai sisa
yang telah disepakati bersama.
Perjanjian sewa guna usaha Leasing dapat dijalankan
dengan menggunakan prinsip-prinsip syari’ah. Menurut badan keputusan bagian
pengawas pasar modal dan lembaga keuangan departemen keuangan Bapepam-LK Nomor
Per-03/BL/2007 yang menyatakansewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dangan hak opsi
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip syari’ah. (pasal 1 angka 9)
Maksud prinsip syari’ah adalah ketentuan hukum Islam
yang menjadi pedoman dalam kegiatan opersional perusahaan dan transaksi antara
lembaga keuangan atau lembaga bisnis syari’ah dengan pihak lain yang telah dan
akan diatur oleh DSN MUI (pasal 1 angka 8).
Kegiatan pembiayaan sewa guna usaha berdasarkan prinsip
syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan ijarah muntahiyah bitamlik.
Ijarah dalam pembiayaan sewa guna usaha adalah akad penyaluran dana untuk
pemindahan hak guna atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa, atau perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa dengan penyewa tanpa
diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Ijarah Muntahiyah Bitamlik
adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa antara perusahaan pembiayaan sebagai
pemberi sewa dengan penyewa disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang
disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
Apabila dilihat dari segi penamaannya prinsip dasar
perjanjian leasing adalah akad sewa menyewa. Namun kekhususan pada leasing
mestinya hanya berlaku pada objek sewanya, yaitu berupa manfaat peralatan atau
barang modal untuk menjalankan usaha. Karena itu agar leasing tetap sah secara
hukum, maka dalam perjanjiannya harus selalu mengacu pada rukun dan syarat akad
sewa menyewa. Karena itu berdasarkan keputusan badan pengawas pasar modal dan
lembaga keuangan departemen keuangan telah mengeluarkan keuangan No per-03/BL/2007
memperlakukan sewa guna usaha sebagai salah satu kegiatan perusahaan pembiayaan
berdasarkan prinsip syari’ah. (pasal A angka 9). Akad yang digunakan dalam
perjanjian sewa guna usaha berdasarkan prinsip syari’ah iyalah Ijarah dan
Ijarah Muntahiyah Bitamli’ (pasal 6 huruf A).
Berdasarkan Fatwa Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan
pembiayaan sewa menyewa ialah sebagai berikut :
Rukun dan syarat Ijarah
1.
Sighot Ijarah, yaitu ijab dan
qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara
verbal atau dalam bentuk lain.
2.
Pihak-pihak yang berakad yaitu
terdiri atas pemberi sewa dan penyewa
3.
Objek akad Ijarah, yaitu
manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah.
Ketentuan objek Ijarah.
1.
Objek ijarah, adalah manfaat
dari penggunaan barang dan jasa
2.
Manfaat barang atau jasa harus
bisa diniliai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak
3.
Manfaat barang atau jasa harus
yang bersifat yang dibolehkan
4.
Kesanggupan memenuhi manfaat
harus nyata dan sesuei dengan syari’ah
5.
Manfaat harus dikenali secara
spesifik sedimiian rupa untuk menghilangkan jahaalah yang akan mengakibatkan
sengketa
6.
Spesifikasi manfaat harus
dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktu.
7.
Sewa atau upah adalah sesuatu
yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syari’ah sebagai
pembayaran manfaat
8.
Pembayaran swa atau upah boleh
berbentuk jasa.
9.
Kelenturan dalam menentukan
sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat,jarak.
Ketentuan ijarah muntahiyah bitamlik
1.
Semua ketentuan dan syarat yang
berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam akad ijarah muntahiyah bitamlik
2.
Perjanjian untuk melakukan akad
ijarah muntahiyah bitamlik harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
3.
Hak dan kewajiban setiap pihak
harus dijelaskan dalam akad.
Ketentuan tentang Ijarah Muntahiyah bitamlik
1.
Pihak yang melakukan ijarah
muntahiyah bitamlik harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan,baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat
dilakukan setelah akad ijarah selesai.
2.
Janji pemindahan kepemilikan
yang disepakati diawal akad ijarah adalah wa’ad yang hukumnya tidak mengikat.
Pembiayaan ijarah muntahiyah bitamlik (IMBT) adalah
salah satu bentuk penyaluran dana yang dapat dilakukan oleh bank syariah untuk
memberikan dana penyewaan barang dengan hak pilih untuk memiliki barang
tersebut pada masa akhir akad bagi nasabah yang membutuhkan. Pada fatwa DSN,
ketentuan mengenai IMBT diatur dalam fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang
al ijarah al Muntahiyah bi al Tamlik. Terjadinya akad IMBT didahului oleh
adanya akad ijarah. Apabila didalam akad ijarah ditentukan adanya IMBT, akad
IMBT dilaksanakan setelah akad ijarah berakhir. Oleh karena itu, ketentuian
akad ijarah juga berlaku pada akad IMBT. Dalam hal ini, akad IMBT yang diatur
dalam pasal 16 PBI No. 7/46/PBI/2005 juga merujuk pada fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/
IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
Sebagaimana halnya ditentukan dalam fatwa DSN tentang
ijarah muntahiyah bitamlik bahwa pada akad IMBT berlaku pula akad ijarah. Pasal
16 PBI No. 7/46/PBI/2005 juga mengatur hal yang sama. Pada pasal 16 ayat 2
adalah hal-hal yang juga diatur dalam pasal 15 PBI No.7/46/PBI/2005 tentang
akad ijarah.
Ketentuan mengenai akad IMBT itu sendiri, PBI No.
7/46/PBI/2005 mengacu pada fatwa DSN tentang ijarah muntahiyah bitamlik, bahwa akad IMBT dalam bentuk wa’ad harus
dituangkan didalam akad ijarah dan baru dilaksanakan setelah nakad ijarah
berakhir. Namun, terdapat dua perbedaan ketentuan yaitu mengenai bentuk ikatan
wa’ad dan cara pengalihan kepemilikan. Pada fatwa DSN tentang IMBT, wa’ad
adalah suatu janji yang tidak mengikat. Dalam hal ini, bank memberikan janji
kepada nasabah bahwa bank akan mengalihkan benda yang disewa nasabah kepada
nasabah. Janji ini tidak harus dilaksanakan oleh bank karena sifatnya yang
tidak mengikat. Sebagai konsekuensi hukum, apabila bank tidak melaksanakan
pengalihan benda yang disewa nasabah kepada nasabah,nasabah tidak menuntut bank
untuk melaksanakn janjinya. Ketentuan ini berbeda dengan yang diatur dalam PBI
No. 7/46/PBI/2005 bahwa wa’ad yang diberikan oleh nasabah adalah mengikat
sebagai bank wajib untuk mengalihkan kepemilikan benda yang disewa oleh nasabah
kepada nasabah setelah akad ijarah berakhir. Nasabah dapat menuntut bank untuk
melaksanakan janji tersebut. Hal ini juga memberi pengaruh kepada ketentuan
bentuk pengalihan kepemilikannya yaitu dengan hibah. Pengalihan kepemilikan
dengan hibah berarti pemberian suatu benda tanpa ada unsur timbal balik dari
penerima hibah(nasabah) kepada pemberi hibah (bank). Pemberi hibah (bank) telah
bmendapatkan keuntungan dari Ijaroh yang telah dilakukannya terlebih dahulu
kepada nasabah. Nasabah tidak dibebankan untuk memberi keuuntungan ganda kepada
bank melalui akad Ijarah dan akad pengalihan kepemilikan.
Fatwa Dsn tentang IMBT memberikan dua bentuk alternatif
pengalihan kepemilikan yang dilakukan oleh bank kepada nasabah yaitu jual beli
atau hibah. Apabila dilakukan jual beli, nasabah harus mengeluarkan biayaya
lagi sebagai pembelian benda yang telah disewa tersebut. Apabila dilakukan
dengan pemberian atau hibah, nasabah tidak mengeluarkan biaya apapun karena
bank hanya memberikan secara Cuma-Cuma.
Adanya perbedaan ketentuan ikatan hukum atas wa’ad antar Fatwa DSN dan PBI peraturan
bank Indonesia disebabkan karena adanya pebedaan pandangan. Fatwa DSN lebih
melihat kepada fiqih atau pemahan itu kata atas wa’ad dalam hukum Islam,
sedangkan PBI lebih melihat kepada praktik atau pelaksanaannya. Dalam
prakteknya, apabila janji yang telah dibuat oleh bank tidak dilaksanakan, akan
memberikan sangsi moral yaitu ketidakpercayaan nasabah kepada bank. Tentunya
hal ini akan membeeri dampak buruk kepada citra bank syari’ah.
Ketentuan akad ijarah muntahiyah bi al tamlik yang
digunakan pada kegiatan sewa guna usaha diatur dalam Peraturan Bapepam- LK No.
Per 04/BL/2007 pada pasal 9 sampai pasal 16. Pasal-pasal yang dibahas adalah
pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, dan pasal 14 dalam kaitannya dengan
ketentuan Fatwa DSN No. 27/DSN- MUI/ III/ 2002 tentang pembiayaan Al-Ijarah
muntahiyah bitamlik dan fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
ijarah. Pasal 13, pasal 15, dan pasal 16 tidak dibahas karena masing-masing
mengatur mengenai obyek ijarah muntahiyah bitamlik, hal-hal yang harus dimuat
dalam akad ijarah muntahiyah bitamlik dan dokumentasi ijarah muntahiyah
bitamlik yang sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh perusahaan pembiayaan.
Peraturan Bapepam-LK No. Per-04/BL/2007 mengatur
ketentuan yang sama dengan fatwa DSN tentang IMBT bahwa dalam melakukan akad
IMBT pemberi sewa membuat wa’ad atau janji untuk melakukan pengalihan
kepemilikan benda yang disewa kepada penyewa. Sifat dari wa’ad ini adalah tidak
mengikat, dapat dilaksanakan, harus dibuat akad pemindahan kepemilikan yang
berbeda dari akad IMBT. Selain itu, ketentuan mengenai hak dan kewajiban
pemberi sewa dan penyewa pada pasal 10 dan pasal 11 Peraturan Bapepam-LK No.
Per-04/BL/2007 juga sama dengan ketentuan pada fatwa DSN tentang pembiayaan
ijarah.
Peraturan Bapepam –LK No. Per-04/BL/2007
juga membuat ketentuan-ketentuan yang tidak diatur didalam fatwa DSN, seperti
penarikan obyek IMBT oleh perusahaan pembiayaan apabila penyewa tidak mampu
membayar sewa sebagaimana diperjanjikan
(pasal 10 ayat 1); pada akhir masa sewa, perusahaan pembiayaan berhak untuk
mengalihkan obyek IMBT kepada penyewa lain apabila penyewa asal tidak mampu
untuk memindahkan kepemilikan obyek
IMBT, memperpanjang masa sewa, atau mencari penggantinya (pasal 10 ayat 1);
pada akhir masa sewa, penyewa berhak memindahkan kepemilikan obyek IMBT, atau
memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu
untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek IMBT atau memperpanjang masa
sewa(pasal 11 ayat 1); penyewa dilarang untuk menyewakan kembali obyek IMBT
kepada pihak lain (pasal 11 ayat 2); dan obyek ijarah adalah milik perusahaaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (pasal 12). Ketentuan-ketentuan ini merupakan
hal-hal yang diperlukan oleh perusah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar