Senin, 25 Juni 2012

Fatwa MUI tentang leasing


FATWA-FATWA LEASING

Yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam kegiatan pembiayaan disamping perbankan dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari  masyarakat ( Pasal 1 ayat 2 Keppres61/1988).
Leasing berasal dari bahasa inggris, yaitu lease yang dari pengertian umum mengandung arti menyewakan. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No 1169/kmk.01/1991,”sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk digunakan oleh lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”.
Menurut peraturan menteri keuangan Nomor. 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan yang dimaksud, sewa guna usaha atau Leasing adalah kegiatan pembayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna usaha tanpa opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha sampai jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran (pasal 1 Huruf C)
Kehadiran Leasing di Indonesia secara formal diperkenalkan pada tahun 1974 yakni dengan dikeluarkannya surat keputusan bersama menteri keuangan, menteri perindustrian, menteri perdagangan republik Indonesia Nomor KEP 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/1974 dan Nomor 30/KPB/1/1974 tentang perizinan usaha Leasing. Pasal 1 surat keputusan bersama tersebut memberikann pengertian tentang Leasing sebagai berikut: setiap kegiatan pembiayaan perusahaan ndalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai hak pilih bagi perusahaan tersebut untk membeli barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu Leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Perjanjian sewa guna usaha Leasing dapat dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip syari’ah. Menurut badan keputusan bagian pengawas pasar modal dan lembaga keuangan departemen keuangan Bapepam-LK Nomor Per-03/BL/2007 yang menyatakansewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dangan hak opsi maupun  sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan  prinsip syari’ah. (pasal 1 angka 9)
Maksud prinsip syari’ah adalah ketentuan hukum Islam yang menjadi pedoman dalam kegiatan opersional perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis syari’ah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur oleh DSN MUI (pasal 1 angka 8).
Kegiatan pembiayaan sewa guna usaha berdasarkan prinsip syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan ijarah muntahiyah bitamlik. Ijarah dalam pembiayaan sewa guna usaha adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, atau perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa dengan penyewa tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Ijarah Muntahiyah Bitamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa dengan penyewa disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
Apabila dilihat dari segi penamaannya prinsip dasar perjanjian leasing adalah akad sewa menyewa. Namun kekhususan pada leasing mestinya hanya berlaku pada objek sewanya, yaitu berupa manfaat peralatan atau barang modal untuk menjalankan usaha. Karena itu agar leasing tetap sah secara hukum, maka dalam perjanjiannya harus selalu mengacu pada rukun dan syarat akad sewa menyewa. Karena itu berdasarkan keputusan badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan departemen keuangan telah mengeluarkan keuangan No per-03/BL/2007 memperlakukan sewa guna usaha sebagai salah satu kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah. (pasal A angka 9). Akad yang digunakan dalam perjanjian sewa guna usaha berdasarkan prinsip syari’ah iyalah Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bitamli’ (pasal 6 huruf A).
Berdasarkan Fatwa Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan pembiayaan sewa menyewa ialah sebagai berikut :
Rukun dan syarat Ijarah
1.      Sighot Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2.      Pihak-pihak yang berakad yaitu terdiri atas pemberi sewa dan penyewa
3.      Objek akad Ijarah, yaitu manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah.
Ketentuan objek Ijarah.
1.      Objek ijarah, adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa
2.      Manfaat barang atau jasa harus bisa diniliai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak
3.      Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat yang dibolehkan
4.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuei dengan syari’ah
5.      Manfaat harus dikenali secara spesifik sedimiian rupa untuk menghilangkan jahaalah yang akan mengakibatkan sengketa
6.      Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktu.
7.      Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syari’ah sebagai pembayaran manfaat
8.      Pembayaran swa atau upah boleh berbentuk jasa.
9.      Kelenturan dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat,jarak.
Ketentuan ijarah muntahiyah bitamlik
1.      Semua ketentuan dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam akad ijarah muntahiyah bitamlik
2.      Perjanjian untuk melakukan akad ijarah muntahiyah bitamlik harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
3.      Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Ketentuan tentang Ijarah Muntahiyah bitamlik
1.      Pihak yang melakukan ijarah muntahiyah bitamlik harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan,baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat dilakukan setelah akad ijarah selesai.
2.      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah adalah wa’ad yang hukumnya tidak mengikat.
Pembiayaan ijarah muntahiyah bitamlik (IMBT) adalah salah satu bentuk penyaluran dana yang dapat dilakukan oleh bank syariah untuk memberikan dana penyewaan barang dengan hak pilih untuk memiliki barang tersebut pada masa akhir akad bagi nasabah yang membutuhkan. Pada fatwa DSN, ketentuan mengenai IMBT diatur dalam fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al ijarah al Muntahiyah bi al Tamlik. Terjadinya akad IMBT didahului oleh adanya akad ijarah. Apabila didalam akad ijarah ditentukan adanya IMBT, akad IMBT dilaksanakan setelah akad ijarah berakhir. Oleh karena itu, ketentuian akad ijarah juga berlaku pada akad IMBT. Dalam hal ini, akad IMBT yang diatur dalam pasal 16 PBI No. 7/46/PBI/2005 juga merujuk pada fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/ IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
Sebagaimana halnya ditentukan dalam fatwa DSN tentang ijarah muntahiyah bitamlik bahwa pada akad IMBT berlaku pula akad ijarah. Pasal 16 PBI No. 7/46/PBI/2005 juga mengatur hal yang sama. Pada pasal 16 ayat 2 adalah hal-hal yang juga diatur dalam pasal 15 PBI No.7/46/PBI/2005 tentang akad ijarah.
Ketentuan mengenai akad IMBT itu sendiri, PBI No. 7/46/PBI/2005 mengacu pada fatwa DSN tentang ijarah muntahiyah bitamlik,  bahwa akad IMBT dalam bentuk wa’ad harus dituangkan didalam akad ijarah dan baru dilaksanakan setelah nakad ijarah berakhir. Namun, terdapat dua perbedaan ketentuan yaitu mengenai bentuk ikatan wa’ad dan cara pengalihan kepemilikan. Pada fatwa DSN tentang IMBT, wa’ad adalah suatu janji yang tidak mengikat. Dalam hal ini, bank memberikan janji kepada nasabah bahwa bank akan mengalihkan benda yang disewa nasabah kepada nasabah. Janji ini tidak harus dilaksanakan oleh bank karena sifatnya yang tidak mengikat. Sebagai konsekuensi hukum, apabila bank tidak melaksanakan pengalihan benda yang disewa nasabah kepada nasabah,nasabah tidak menuntut bank untuk melaksanakn janjinya. Ketentuan ini berbeda dengan yang diatur dalam PBI No. 7/46/PBI/2005 bahwa wa’ad yang diberikan oleh nasabah adalah mengikat sebagai bank wajib untuk mengalihkan kepemilikan benda yang disewa oleh nasabah kepada nasabah setelah akad ijarah berakhir. Nasabah dapat menuntut bank untuk melaksanakan janji tersebut. Hal ini juga memberi pengaruh kepada ketentuan bentuk pengalihan kepemilikannya yaitu dengan hibah. Pengalihan kepemilikan dengan hibah berarti pemberian suatu benda tanpa ada unsur timbal balik dari penerima hibah(nasabah) kepada pemberi hibah (bank). Pemberi hibah (bank) telah bmendapatkan keuntungan dari Ijaroh yang telah dilakukannya terlebih dahulu kepada nasabah. Nasabah tidak dibebankan untuk memberi keuuntungan ganda kepada bank melalui akad Ijarah dan akad pengalihan kepemilikan.
Fatwa Dsn tentang IMBT memberikan dua bentuk alternatif pengalihan kepemilikan yang dilakukan oleh bank kepada nasabah yaitu jual beli atau hibah. Apabila dilakukan jual beli, nasabah harus mengeluarkan biayaya lagi sebagai pembelian benda yang telah disewa tersebut. Apabila dilakukan dengan pemberian atau hibah, nasabah tidak mengeluarkan biaya apapun karena bank hanya memberikan secara Cuma-Cuma.
Adanya perbedaan ketentuan ikatan hukum atas wa’ad antar Fatwa DSN dan PBI peraturan bank Indonesia disebabkan karena adanya pebedaan pandangan. Fatwa DSN lebih melihat kepada fiqih atau pemahan itu kata atas wa’ad dalam hukum Islam, sedangkan PBI lebih melihat kepada praktik atau pelaksanaannya. Dalam prakteknya, apabila janji yang telah dibuat oleh bank tidak dilaksanakan, akan memberikan sangsi moral yaitu ketidakpercayaan nasabah kepada bank. Tentunya hal ini akan membeeri dampak buruk kepada citra bank syari’ah.           
Ketentuan akad ijarah muntahiyah bi al tamlik yang digunakan pada kegiatan sewa guna usaha diatur dalam Peraturan Bapepam- LK No. Per 04/BL/2007 pada pasal 9 sampai pasal 16. Pasal-pasal yang dibahas adalah pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, dan pasal 14 dalam kaitannya dengan ketentuan Fatwa DSN No. 27/DSN- MUI/ III/ 2002 tentang pembiayaan Al-Ijarah muntahiyah bitamlik dan fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah. Pasal 13, pasal 15, dan pasal 16 tidak dibahas karena masing-masing mengatur mengenai obyek ijarah muntahiyah bitamlik, hal-hal yang harus dimuat dalam akad ijarah muntahiyah bitamlik dan dokumentasi ijarah muntahiyah bitamlik yang sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh perusahaan pembiayaan.
Peraturan Bapepam-LK No. Per-04/BL/2007 mengatur ketentuan yang sama dengan fatwa DSN tentang IMBT bahwa dalam melakukan akad IMBT pemberi sewa membuat wa’ad atau janji untuk melakukan pengalihan kepemilikan benda yang disewa kepada penyewa. Sifat dari wa’ad ini adalah tidak mengikat, dapat dilaksanakan, harus dibuat akad pemindahan kepemilikan yang berbeda dari akad IMBT. Selain itu, ketentuan mengenai hak dan kewajiban pemberi sewa dan penyewa pada pasal 10 dan pasal 11 Peraturan Bapepam-LK No. Per-04/BL/2007 juga sama dengan ketentuan pada fatwa DSN tentang pembiayaan ijarah.
Peraturan Bapepam –LK No. Per-04/BL/2007 juga membuat ketentuan-ketentuan yang tidak diatur didalam fatwa DSN, seperti penarikan obyek IMBT oleh perusahaan pembiayaan apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana  diperjanjikan (pasal 10 ayat 1); pada akhir masa sewa, perusahaan pembiayaan berhak untuk mengalihkan obyek IMBT kepada penyewa lain apabila penyewa asal tidak mampu untuk memindahkan  kepemilikan obyek IMBT, memperpanjang masa sewa, atau mencari penggantinya (pasal 10 ayat 1); pada akhir masa sewa, penyewa berhak memindahkan kepemilikan obyek IMBT, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek IMBT atau memperpanjang masa sewa(pasal 11 ayat 1); penyewa dilarang untuk menyewakan kembali obyek IMBT kepada pihak lain (pasal 11 ayat 2); dan obyek ijarah adalah milik perusahaaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (pasal 12). Ketentuan-ketentuan ini merupakan hal-hal yang diperlukan oleh perusah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar