MAHAR
Mahar adalah
harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki
sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya,
sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri.
Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan
pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal.
Mahar ini
pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan
sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila
tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’
ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya
nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau
benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti
ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita
muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya
diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta
mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang
tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaan atau benda berharga lainnya. Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat
shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya
dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang
punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon
istrinya.
Akhirnya
dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang
lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar
suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak
terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara
tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan
sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.
Justru
embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila
seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar
itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak
terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.
A. Jenis
Mahar Dalam Pernikahan
Masalah jenis
barang yang dapat di gunakan untuk mahar, bias berupa sesuatu yang dapat
dimiliki atau di ambil manfaatnya, juga dapat di jadikan pengganti atau di
tukarkan.
Adapun
macam-macamnya, ulama’ fiqih sepakat bahwa mahar itu bisa di bedakan menjadi
dua, yaitu sebagai berikut:
a. Mahar
Musamma
Yaitu mahar
yang sudah di sebut atau di janjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama’ Fiqih
sepakat bahwa dalam pelaksanaanya mahar musamma harus di berikan secara
penuh apabila:
1. Telah
bercampur (bersenggama)
2. Apabila
salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut Ijma’
b.
Mahar misil (sepadan)
Yaitu mahar
yang tidak di sebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti mahar saudara perempuan
pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada
makamisil ini beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajad dengan dia.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaansebagai berikut:
Ø Bila
tidak di sebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian
suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
Ø Kalau
mahar musamma belum di bayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnyatidak sah.
C. Nominal
Mahar Dalam Kajian Para Ulama’
Secara
fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal
mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Karena itu,
syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu
memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri,
untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan
tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar
tidak ada yang dirugikan.
Rahmat Hakim
berpendapat bahwa besar kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan Negara
maupun situasi dan kondisinya. Dengan demikian, besarnya mahar yang di berikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan selalu berbeda-beda.
Istri tetap
mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal,
sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar
tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja
bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang
senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”
sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar